Saya punya satu sifat buruk yang membuat saya mirip seperti anak kecil atau semacam binatang peliharaan : I always love deeply and hate terribly.
Saya mencintai dan membenci dengan cara yang sama besarnya dan sama sungguh-sungguhnya. Dan meskipun saya mempelajari psikologi lebih lama dari yang saya bisa katakan sehingga mengetahui banyak cara untuk terapi psikis tapi saya tidak bisa mengubah sifat saya itu bagaimana pun caranya.
Lucunya kadang-kadang saya bingung jika ditanya kenapa saya mencintai atau membenci seseorang. Bukan karena saya tidak punya alasan yang jelas tapi seringkali alasan itu begitu prinsipil sehingga saya merasa orang lain tidak akan mengerti. Jadi kalau ada orang mempertanyakan kenapa saya mencintai atau membencinya saya biasanya berpikir kalau orang tersebut punya masalah dengan harga dirinya.
Kata orang hatred is love that missed its way. Itu mungkin saja. Meskipun bagi saya pribadi cinta dan kebencian berakar dari dua hal yang sama sekali berbeda.
Terus terang saya tidak suka mendapati diri saya membenci sesuatu. Bukan kita yang mengatur dunia ini jadi keberadaan sesuatu yang tidak kita suka itu mutlak adanya, maksud saya sudah pasti akan ada. Tidak menyukai sesuatu berkaitan dengan ketidak mampuan kita untuk beradaptasi atau membuat diri kita sendiri nyaman pada keadaan apapun. Jelas beda dengan membenci sesuatu.
Kebencian, dan cinta juga sebenarnya, adalah semacam tirai yang menutupi penilaian kita akan sesuatu. Orang jawa bilang Wong tresna ra kurang pangalembana. Wong gething ra kurang panyacate. Sesuatu yang agak memalukan sebenarnya, kalau dilihat dari prinsip keadilan. Tapi kita, semua orang saya rasa, membentuk opininya masing-masing berdasarkan banyak alasan dan kepentingan sehingga hal seperti itu wajar saya.
Bertahun-tahun saya membenci seseorang. Kadar kebencian itu sama atau bahkan bertambah dari tahun ke tahun. Beberapa orang bersikap sembrono, tidak memikirkan akibat perbuatannya kepada orang lain dan merasa baik-baik saja selama waktu itu. Orang yang semacam itu benar-benar ada. Dan seperti biasa, ketidakberuntungan saya, mempertemukan saya dengannya. Saya pikir, ratusan kali saya memikirkan ini, masalah akan selesai jika saya memukulnya sampai roboh. Tapi saya tidak melakukannya, sebenarnya karena tidak punya kesempatan saja hehehe..., saya kuatir itu malah akan membuatnya tidak memdapatkan moral lesson yang saya harap dia mendapatkannya. Namun karena saya harus melampiaskan perasaan saya itu, demi kesehatan saya, maka saya memakai cara lain. Saya menumpahkan kebencian itu ke dalam tulisan.
Pada awalnya itu terlihat merupakan penyelesaian yang elegan. Tapi begitu tulisan itu dimuat saya dihantam rasa penyesalan yang lebih besar daripada yang saya duga. Kenapa saya menuliskannya, tulisan yang jelas akan dibaca oleh orang yang saya cintai, myself? Seolah-olah saya melampiaskan kebencian dengan membabibuta pada orang yang mungkin tidak memahaminya. Saya menyesalinya.
Satu hal yang dapat saya ambil pelajaran dari kejadian ini adalah membenci itu tidak apa-apa tapi mengekalkannya dalam sebuah karya sama sekali tidak elegan. Or, at least, I think so.