Belakangan saya suka mengamat-amati pepohonan. Bukan berarti sebelumnya saya tidak melakukan kegiatan itu. Saya suka tumbuhan. Saya mempelajari botani di universitas dan saya pikir itu subyek yang menyenangkan. Saya tumbuh besar di pedesaan. Musik yang paling sering saya dengar adalah bunyi angin meniup pelepah-pelepah pohon kelapa. Di depan rumah dimana keluargaku tinggal selama ini, tumbuh pohon kelengkeng yang sangat rimbun. Jika ingin melihat apakah angin bertiup lebih kencang dari biasanya (sehingga bisa segera mengambil langkah pengamanan) maka tinggal melihat bagaimana gerak daun-daun pohon itu. Beberapa tahun belakangan, pohon itu menjadi sarang burung prenjak. Orang Jawa menganggap suara burung prenjak sebagai pertanda kedatangan seorang tamu. Padahal burung itu sering sekali bernyanyi, kadang sampai beberapa kali dalam sehari, dan (ternyata) tidak ada tamu yang datang berkunjung. Hal itu sering menjadi bahan guyonan ketika saya pulang ke rumah.
Dulu, yang saya maksud dengan menikmati keindahan tetumbuhan adalah apabila ada bunga yang sedang mekar dari tumbuhan itu. Jadi pengertian yang saya gunakan hanya terbatas pada "menikmati hanya jika ada hal yang indah".
Sekarang, seiring dengan pemahaman saya akan makna keindahan, bahwa kadang-kadang keindahan dapat juga terdapat pada sesuatu yang (terlihat) tidak indah, maka kegiatan mengamat-amati pepohonan itu menjadi berbeda, baik dalam konsep maupun apresiasinya.
Saya suka mengamati pohon yang besar, jenis tumbuhan yang menghijau sepanjang tahun. Tetapi lebih suka lagi apabila pohon itu berusia tua. Pohon yang tua memiliki karakter yang kuat. Saya paling senang mengamati bentuk kulit batangnya dan menemukan sisa-sisa musim yang telah dilaluinya. Kadang-kadang sebatang pohon tua membuat saya terharu. Bahwa dia memiliki kekuatan untuk menghadapi perubahan-perubahan musim itu menyentuh hati saya.
Jika saya memiliki "hati" pohon tua itu maka alangkah bagusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar