Beberapa hari terakhir saya berusaha mengurai kebodohan masa lalu saya dan mencoba mencari pemaafan dari diri saya sendiri.
Saya menyambung kembali komunikasi dengan beberapa orang yang sebelumnya kepadanya telah saya ucapkan selamat tinggal, baik secara verbal maupun secara implisit bahwa saya tidak ingin lagi bersinggungan dengan mereka dalam garis hidup yang saya jalani. Orang-orang ini meskipun tanpa melakukan apa-apa keberadaan mereka toh sudah sama saja dengan berteriak, "Kami pernah menjadi bagian dalam hidupmu. Kamu tidak bisa dong menolak kami ataupun menghapus kami. Dalam garis perjalanan hidupmu akan tetap ada bagian yang berisi kami. Dan kamu toh tidak bisa mengubah masa lalu."
Bagi saya yang berpendapat bahwa di dunia ini kekurangajaran yang paling kurangajar dan tidak termaafkan adalah apabila seseorang merasa memiliki kehidupan orang lain, maka membayangkan bahwa ada orang yang berpikir hal yang demikian membuat saya jengkel setengah mati.
Orang-orang yang saya sebutkan di depan adalah orang-orang yang berada dalam rentang waktu yang sama dengan saat saya melakukan hal-hal yang salah dan bodoh, dan karena saya tidak bisa memaafkan diri saya yang telah melakukan kesalahan dan kebodohan itu maka saya selalu mengingat masa itu dan demikian juga dengan orang-orang tersebut. Dan disebabkan hal itu maka sama saja saya tetap membiarkan mereka berada bergelantungan dalam garis hidup saya sehingga bahkan ucapan selamat tinggal, dengan segala macam prosesinya pun, tidak mampu 'menghilangkan' status 'ada' itu.
Awalnya saya berpura-pura tidak terganggu dengan hal itu, bahwa semua orang pasti juga mengalami hal yang sama, kalau mereka bisa mengatasinya kenapa saya tidak? Saya menjalani hidup saya sendiri, merasa asyik dengan semua urusan yang menjadi kewajiban saya untuk mengurusnya. Tapi kenyataan bahwa sesuatu sedang bergelantungan dalam hidup saya itu sama sekali bukan hal yang bisa diabaikan. Pada waktu-waktu tertentu, ketika saya bermain dengan kenangan saya merasakan gangguan itu.
Barangkali akan sangat tidak adil jika saya katakan orang-orang ini sebagai embel-embel yang tidak penting, karena bagaimanapun seseorang tetaplah somebody dan bukan nobody, tapi ketika saya berusaha sangat jujur mengakui perasaan yang saya rasakan terhadap mereka, betapapun itu kedengaran sangat jahat dan egois, tapi saya memandang mereka memang sebagai embel-embel yang tidak penting. Saya berharap tidak perlu berurusan lagi, dalam arti harfiahnya, dengan mereka. Saya akan mengucapkan "Maaf atas semua kesalahan. Terima kasih untuk semuanya. Selamat tinggal." lalu menghilang secepat mungkin.
Saya tidak suka pergi sementara masih ada urusan duniawi yang belum saya selesaikan. Dengan mengatakan kalimat itu saya pikir urusan duniawi itu sudah selesai.
Tapi terhadap orang-orang itu selalu masih ada urusan duniawi yang tertinggal.
Bahwa saya senang bermain-main itu memang benar, tapi ketika kemudian saya melakukan kesalahan dan kebodohan yang tidak perlu dan harus membereskan akibat yang ditimbulkannya, lama-lama membuat saya menempatkan diri saya di suatu wilayah bernama kehancuran. Saya selalu dikejar-kejar oleh kewajiban untuk membereskan, tidak peduli bisa dibereskan atau tidak, penting untuk dibereskan atau tidak. Saya lelah dengan ketidakberesan yang saya timbulkan. Bisa saja saya katakan "I've done with everything" tapi orang-orang itu ada disana, menatap saya dan diam-diam menjadi saksi atas ketidakberesan itu.
Belakangan saya berusaha menghadapi kesaksian-kesaksian itu. Cara terbaik untuk lepas dari masalah adalah dengan menghadapinya. Saya bicara untuk membereskan masalah. Tentu saja dimulai dengan sejumlah basa basi sebelum saya mengatakan apa yang saya rasakan kepada mereka, berusaha menjelaskan dan meluruskan kesimpulan kusut yang terlalu cepat kami buat di masa lalu tentang sebuah masalah hingga pada akhirnya saya mengatakan kalimat itu.
Betapa terkejutnya saya ketika ternyata mereka nyaris semuanya bereaksi dengan reaksi yang menunjukkan seolah-olah saya telah melakukan hal yang sangat konyol dengan membahas masalah sesepele itu. Dari keseluruhan reaksi yang saya dapat rasanya cukup mewakili jika dipakai kata-kata, "Apa yang tidak ada harus dianggap dan diperlakukan seperti apa yang tidak ada."
Pada akhirnya saya menyadari betapa pun inginnya kita mengucapkan selamat tinggal pada sesuatu belum tentu kita dapat berpisah dengannya. Karena pertemuan dan perpisahan adalah sesuatu yang terlepas sama sekali dari peran suatu hasrat yang bernama keinginan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar