Saya merasa takut pada hasrat purbawi manusia.
Saya tahu sebagai manusia biasa saya dilengkapi dengan perangkat-perangkat tertentu yang mendukung kemanusiawian saya itu. Termasuk di dalamnya animal instinct. Naluri ini pada dasarnya berguna untuk kelangsungan hidup makhluk. Naluri ini meliputi naluri untuk makan, naluri untuk mempertahankan hidup, naluri untuk melanjutkan keturunan dan naluri untuk memperoleh pengakuan dari lingkungan. Naluri itu disebut naluri kebinatangan karena dimiliki juga oleh binatang.
Tidak ada yang menakutkan dari animal instinct kecuali bahwa ia ada di dalam diri saya. Membayangkan bahwa saya punya sesuatu yang dapat menyebabkan saya, pada suatu waktu, berpotensi untuk bertingkah seperti binatang sungguh membuat saya ngeri dan hampir-hampir membuat saya berpikir sangat negatif pada diri saya sebagai manusia.
Bagaimana pun sebagai seorang manusia saya selalu berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dan karena melihat pada kebaikan itu maka saya cenderung mengambil sosok yang saya pandang mewakili apa yang diartikan sebagai kebaikan itu. Sosok yang saya ambil adalah Rasul dan malaikat. Ketika saya menyadari bahwa saya tidaklah mungkin menjadi seperti mereka, tidak peduli sekuat apapun saya berusaha, maka saya dengan sadar diri mulai melihat kedudukan saya dalam hal kebaikan itu.
Tapi di sisi lain saya juga berpikir jika saya mengabaikan keberadaan animal instinct dalam diri saya, yang sebenarnya merupakan suatu potensi dilihat dari cara pandang tertentu, maka saya tidaklah akan bisa menjadi manusia yang sesungguhnya, seorang manusia yang manusiawi.
Terlebih lagi ketika saya menyadari bahwa ternyata di saat saya berada dalam kondisi dimana secara logika saya berada pada tingkat kemuliaan yang paling rendah (karena saya memperturutkan animal instinct itu) justru pada saat yang sama saya menyadari harkat kemanusiaan saya dalam kesadaran yang paling mendasar, jujur dan alami. Kesadaran itu saya anggap sebagai sebuah pengalaman spiritual. Mungkin seperti yang tertulis dalan Serat Centhini bahwa hasrat adalah teka-teki yang kita gali dari tubuh sebagai sebuah kerumitan. Tiap kali kita mendekat ke salah satu kunci teka-teki itu maka teka-teki itu menjadi kian sederhana, tetapi dalam setiap kesederhanaan itu melahirkan kerumitan baru. Demikian seterusnya tiada akhir, membentuk sebuah kerajaan yang paling purba indahnya.
Kini yang menakutkan saya bukanlah keberadaan animal instinct itu tetapi diri saya yang telah terikat kuat dengan animal instinct itu. Secara mendasar barangkali aku takut pada hasrat saya akan hal-hal yang bersifat duniawi. Itu karena saya tahu hal itu berpotensi untuk meruntuhkan keyakinan yang ada di dalam hati saya, keyakinan yang berusaha saya jaga baik-baik.
Bagaimanakah kita bisa selamat dari animal instinct kita pada saat sekarang ini ketika semua nilai tidak hanya telah digeser tetapi telah berganti nilai baru yang tidak berdasar atas pertimbangan baik dan buruk?
Kita lihat manusia sekarang. Animal instinct itu telah benar-benar diwujudkan dalam pengertian harfiahnya sebagai "sesuatu yang rendah". Dunia ini menyediakan segala macam hal yang melenakan dan juga segala bentuk tipu daya.
Membayangkan berada pada sebuah dunia dimana orang-orangnya, termasuk saya barangkali, hidup hanya dengan mengandalkan animal instinct-nya saja, sehingga menjadi hampir mirip dengan binatang, membuat saya ketakutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar