Saya pernah, pada suatu masa dalam hidup saya, jatuh cinta pada seorang teman kuliah saya. Orangnya biasa-biasa saja. Dia tidak sangat tampan dan juga tidak sangat pintar. Pokoknya dia kelihatan biasa-biasa saja.
Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa kesan pertama bisa saja tidak cukup mewakili kepribadian seseorang. Setelah mengenalnya saya melihat banyak kelebihan yang dia miliki. Dia punya selera humor yang bagus, merupakan seorang teman yang setia, seorang pria yang punya komitmen tinggi terhadap apapun yang sedang dia lakukan, dia punya pandangan yang luas dan mendalam terhadap kehidupan, dia seorang gentleman sejati yang menghormati wanita dan sopan santunnya luar biasa. Pada suatu hari dia mengunjungi saya. Waktu itu saya sedang berada dalam keadaan mempertimbangkan untuk menjelaskan perasaan saya yang sangat rumit itu kepadanya. Dia seorang yang menghargai persahabatan sehingga perasaannya kepada saya tidak pernah melangkah lebih jauh dari sekedar perasaan kasih sayang terhadap saudara. Dia terlalu terhormat untuk melakukan hal itu. Tiba-tiba harus bertemu dengannya pada saat seperti itu membuat saya sangat malu -karena saya merasa seolah-olah telah melakukan sebuah dosa meskipun saya tahu perasaan adalah hal terjujur yang bisa dialami seorang manusia dan bagaimanapun saya menginginkannya toh perasaan tidak pernah bisa disensor- sehingga akhirnya saya mengatakan bahwa saya tidak ingin bertemu dengannya. Dan sebagaimana akhlak seorang tamu yang baik ketika diminta pulang maka dia pun pulang. Pengertian dan rasa pemaklumannya terhadap saya membuatnya bersikap sangat bijaksana dengan tidak mempermasalahkan kejadian itu sama sekali dan tetap bersikap sebagai seorang teman yang baik. Itu adalah satu perwujudan kecil dari kepribadiannya yang baik. Mungkin disebabkan karena kelebihannya itu maka kemudian di mata saya dia menjadi terlihat sangat indah.
Persahabatan kami diawali dengan kata-kata dan sebenarnya memang seperti itulah bentuk hubungan kami baik dulu maupun sekarang. Saling mengirim puisi dan membahas masalah-masalah yang barangkali bagi orang lain merupakan topik yang membosankan. Saya merasa kata-katanya yang dia kirim kepada saya khusus dibuat dan disusun untuk saya dan saya merasa memiliki kata-kata itu untuk diri saya sendiri. Seringkali saya 'terbunuh' oleh kata-katanya. Saya pikir saya mencintai isi kepala dan kedalaman jiwanya.
Seiring dengan berjalannya waktu secara aneh saya menemukan ada begitu banyak kesamaan dalam diri kami. Misalnya kami sama-sama menyukai Raindrop-nya Chopin dan kami menikmati berjalan-jalan di alam bebas. Mungkin seperti kata-kata Kahlil Gibran bahwa kita mencintai seseorang karena kita melihat diri kita di dalam diri orang itu. Bagi saya dia adalah sebuah bentuk kalimat jadi dari apa yang tidak mampu saya ucapkan dari apa yang ada di dalam kepala saya. Semacam translator untuk memahami apa yang tidak saya sadari sudah saya pahami.
Saya mungkin salah satu orang yang memahami cinta dengan konsep berbeda. Perasaan saya kepadanya saya maknai sebagai sesuatu yang membuat saya lebih memahami kemanusiaan saya, membuat saya melepaskan diri sedikit demi sedikit dari obsesi konyol saya tentang kesempurnaan dan membuat saya mampu belajar dari sifat ketidaksempurnaan yang melekat dalam diri saya sebagai manusia biasa. Perasaan saya kepadanya adalah satu hal yang patut saya syukuri sebagaimana saya pun harus mensyukuri keberadaan saya sebagai manusia. Saya berharap bisa membawa perasaan itu kepada sesuatu yang bersifat spiritual.
Saya seringkali mempertanyakan rasa cinta saya terhadapnya, apakah merupakan perwujudan dari ketertarikan purbawi saya terhadap lawan jenis, apakah merupakan pengertian lain dari kekaguman saya terhadap suatu bentuk keindahan sekaligus keinginan untuk memiliki keindahan itu atau apakah rasa cinta saya itu merupakan cinta yang sesungguhnya.
Ketertarikan terhadap lawan jenis meskipun merupakan penyebab paling wajar dalam terciptanya hubungan antara laki-laki dan perempuan, tetapi menurut saya merupakan alasan paling buruk dari sebuah persahabatan dan jelas tidak akan saya pakai dalam menjawab pertanyaan apapun tentang hubungan kami.
Kekaguman akan keindahan menyebabkan orang ingin memiliki keindahan itu. Entah untuk alasan karena dirinya tidak indah sehingga perlu dilengkapi dengan keindahan itu ataukah cuma sebagai pajangan saja. Saya seorang yang menyukai keindahan tetapi saya rasa saya lebih menyukai keberadaan keindahan itu tetap pada tempatnya sebagaimana dia diciptakan daripada saya mengambil dan meletakkannya dalam ruang pribadi saya. Meskipun pada saat-saat tertentu saya berkhayal berkuda berdua dengannya menyusuri lembah dan melihat matahari terbenam bersama tetapi saya rasa saya lebih suka melihatnya berada dalam keadaan di luar khayalan saya, sibuk dalam dunia nyatanya.
Saya tidak tahu banyak tentang cinta. Cinta yang saya tahu barangkali cuma cinta yang ada dalam kitab-kitab, dalam puisi atau dalam film. Saya rasa cinta adalah sebuah konsep ide yang sangat kompleks. Selalu lebih mudah menjalani cinta daripada mengkonsepkannya. Karena saya terlalu narsis saya tidak bisa mempercayai bahwa diri saya akan bisa mencintai orang lain lebih dari rasa cinta saya terhadap diri saya sendiri, bahkan nyaris sama saja saya tidak yakin.
Ketiga pertanyaan itu membuat saya bingung karena jawabannya serba tidak jelas dan karena saya bukan orang yang bisa diam menikmati sesuatu tanpa memahaminya maka kebingungan itu kadang menjadi begitu parah dan mengganggu.
Terlepas dari kenyataan bahwa saya tidak pernah benar-benar 'memilikinya' saya rasa saya memang tidak punya hasrat untuk itu. Itulah barangkali sebab yang paling logis kenapa saya tidak mengenal rasa kehilangan dalam hal ini.
Mungkin perasaan saya terhadap teman saya itu adalah apa yang disebut sebagai perasaan yang sangat halus yang dirasakan oleh seseorang terhadap keluarganya. Sesuatu yang sangat lembut yang merasuk perlahan-lahan di dalam hati dan tanpa disadari kemudian berakar dengan kuat yang sesuatu itu mampu membuat seseorang melakukan perjalanan melintasi benua hanya untuk berjumpa dan mengucapkan salam kepada orang yang dia cintai. Sesuatu yang terlalu sederhana apabila diungkapkan hanya dengan sebuah kata bernama cinta.
Pertemuan denganmu
(adalah) sebuah kebetulan
tentu saja barangkali juga sebuah kecelakaan
Kau di luar rencanaku
menggembirakan diri
tampil di sela-sela kemanjaanku
Beginikah rasanya punya teman?
Hiruk pikuk hari-hari
lewat begitu saja, ringan
dan kau memenuhi kekosongan
Kita berteman saja
aku tak punya niat terlalu jauh
Hanya kurasakan kesegaran
yang penuh saat bersamamu
Kurasakan kelancaran napas hidup
Kurasakan detil dunia dalam matamu
Kurasakan sukacita waktu dalam gerakmu
Kita berteman saja:
sebuah kenyataan
yang sangat mungkin abadi
menjelma kupu-kupu indah di suatu pagi
dengan bunga-bunga dan suara burung
Meski kau akan berlayar jauh dengan kekasih
aku adalah pelabuhan kala kau sendiri
Kita berdua memecah kesunyian
membikin dunia terjaga
dan bersama bergembira
Kita berteman saja
Sambil tetap berdoa
demi ketulusan hati
yang kuingin tetap begitu
Ya kita berteman saja
dalam hidup ini
dan nanti.
Catatan:
Puisi pada bagian akhir tulisan ini dikutip dengan sejumlah penyesuaian dari puisi berjudul Ode Untuk Teman karya Bagus Takwin.