Selasa, 29 Januari 2008

KANGEN


Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
Kau tak akan mengerti segala lukaku
karna cinta telah sembunyikan pisaunya
Membayangkan wajahmu adalah siksa
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan
Engkau telah menjadi racun bagi darahku
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.

(Puisi berjudul "Kangen" dari buku kumpulan puisi "Empat Kumpulan Sajak" karya WS Rendra)

Puisi diatas adalah puisi kesukaan dosen sastra saya. Beliau juga yang pertama kali membuat saya menyadari bahwa kangen dan rindu itu memiliki makna yang berbeda. Kata kangen digunakan untuk menyatakan rasa rindu yang sudah parah jadi rinduuuu sekali.

Saya tidak tahu komposisi kimia apa yang membentuk rasa kangen itu. Barangkali otak yang kekurangan nutrisi adalah salah satunya karena ketika seseorang merasa kangen dia akan bersikap seakan tidak punya otak atau paling tidak seperti seorang yang otaknya mengalami malfungsi.

Kangen barangkali datang dari ketidakberadaan sebuah obyek yang kita inginkan keberadaannya, atau dari keindahan yang ada pada masa yang telah berlalu yang mana hal itu sebenarnya merupakan refleksi dari keinginan kita untuk mendapatkan dan merasakan kembali keindahan itu pada masa sekarang.

Kangen juga mungkin timbul ketika kita tidak merasa aman dan nyaman dengan keadaan kita. Masa lalu seringkali dianggap lebih aman karena sudah terjadi dan sesulit apapun masa itu toh sudah berlalu.

Pada intinya kangen bisa dikatakan timbul pada saat there's something wrong with us. Meskipun tentu saja tidak semua hal terjadi karena sebuah alasan yang jelas. Seringkali alasan itu adalah sesuatu yang bersifat complicated. Kangen termasuk dalam golongan hal yang alasan terjadinya bisa sangat complicated.

Saya sendiri adalah orang yang sangat sering merasa kangen. Baik merasa kangen kepada obyek yang jelas (keluarga, kekasih, sahabat dll) maupun kepada sesuatu yang tidak jelas. Saya bahkan bisa merasa kangen pada sesuatu yang saya sendiri tidak tahu sesuatu itu apa. Sudah biasa bagi saya untuk memulai percakapan, di jalan, di telepon atau di e-mail, dengan orang yang saya rindukan dengan kalimat "Aku kangen." Rasanya kalimat itu sudah cukup mewakili apa yang saya rasakan tanpa perlu bersusah payah menjelaskannya dalam kalimat yang panjang lebar.
Saya mengakui, merasa kangen tidaklah selalu menyenangkan. Pada suatu waktu kangen bisa berubah menjadi seperti penyakit yang tanpa obat. Jika diteorikan umumnya obat dari penyakit yang timbul karena ketidakberadaan sesuatu adalah dengan keberadaan sesuatu itu. Tapi kangen tidaklah selalu demikian. Mungkin kangen bisa diterapi dengan bertemu tapi tidak selalu menjamin kesembuhannya. Kadangkala setelah bertemu dengan orang yang kita rindukan kita justru malah semakin merindukannya terutama jika seseorang itu adalah orang yang menempati ruang yang luas di dalam hati kita.

Saya tidak tahu apa penyebab kangen itu adalah karena pentingnya hal yang kita kangeni itu dalam hidup kita ataukah karena kita begitu rewel terhadap kenyataan. Atau malah kedua-duanya. Saya sendiri bingung memutuskan mana yang benar. Paling-paling pada akhirnya saya hanya bisa mengutip lagu yang biasa didendangkan kekasih saya:

Yen ing tawang ana lintang, Cah ayu
aku ngenteni tekamu
marang mega ing angkasa ingsun takokke pawartamu.

Janji-janji aku eling, Cah ayu
sumedhot rasaning ati
lintang-lintang ngiwi-iwi, Nimas
tresnaku sundhul wiyati.

Dhek semana janjiku disekseni
mega kartika
kairing rasa tresna asih

Yen ing tawang ana lintang, Cah ayu
rungokno tangising ati
binarung swarane ratri, Nimas
ngenteni mbulan ndadari.

Minggu, 27 Januari 2008

SEJARAH


Beberapa hari terakhir saya merasa aneh sekali. Sepertinya saya selalu punya waktu luang tak peduli betapapun banyaknya hal yang saya kerjakan. Seorang teman saya bilang itu karena saya terlalu peduli pada detail. Tapi saya rasa itu lebih karena saya menyadari dan menghayati kehadiran waktu.

Saya rasa setiap orang punya persepsi berbeda tentang waktu. Panjang pendeknya tergantung bagaimana seseorang menghayatinya. Mungkin Einstein dan teori relativitas-nya itu merupakan gambaran paling ilmiah dari seseorang yang berusaha menggambarkan keadaan itu dengan satu kalimat saja.

Kadang-kadang aku bertanya-tanya bagaimanakah proses terbentuknya sejarah, sementara pada kenyataannya sejarah adalah apa yang baru bisa dilihat dan dikaji begitu telah terjadi. Saya pikir sangat jarang ada orang yang menyadari bahwa dia sedang menciptakan sebuah sejarah baru kecuali orang yang sangat optimis barangkali. Sejarah mungkin bisa disebut bagian yang paling aneh dari waktu, tidak dipedulikan sekaligus tidak terbantahkan.

Beberapa waktu lalu saya membaca buku berjudul Dunia Tanpa Ingatan karya Anton Kurnia. Ini adalah buku berisi kumpulan esai tentang sastra. Secara pribadi saya sangat terkesan dengan Anton Kurnia. Dia menghidupi dirinya dengan hasil tulisannya dan dengan kecintaannya pada sastra. Dia seorang sastrawan sejati. Tetap bisa berbahagia (dengan melakukan pekerjaan yang dicintai) tanpa perlu dibuat resah dengan ketidaksempurnaan dunia, menurut saya hal semacam itu sangat heroik.

Esai pertama di buku itu sangat bagus. Ada hal menarik yang mengganggu pikiran saya setelah membaca buku itu. Pertanyaan saya adalah: Jika tulisan dapat menjadi ingatan tandingan dari ingatan yang sebenarnya, maka apakah ingatan yang sebenarnya itu? Apakah itu adalah kenyataan ataukah sejarah? Reaksi ini hampir sama dengan saat saya membaca bukunya Milan Kundera. Ini semua membuat saya berandai-andai:

Seandainya pada suatu hari saya bunuh diri tanpa sebab. benar-benar tanpa sebab sehingga mencurigakan, sahabat-sahabat saya tersayang mungkin akan menemui psikiater sambil membawa copy dari semua tulisan saya, termasuk catatan ini, dan mereka pasti menyuruh psikiater itu untuk melakukan autopsi psikologis. Psikiater itu mungkin akan memberikan analisa dan menyimpulkan bahwa saya menderits manic depressive, bahwa saya terobsesi pada kematian dan bahwa persepsi saya terhadap realitas mengalami ketidakseimbangan. Dan kalau kesimpulan itu menjadi satu-satunya sebab yang masuk akal sementara tulisan saya, yang menjadi ingatan tandingan dari ingatan yang sebenarnya tentang saya, mendukung hal itu, dan kalau ingatan yang sebenarnya tentang saya menjadi begitu kabur oleh ketidakberadaan saya, pada akhirnya tulisan saya akan merekonstruksikan kehidupan saya dan begitulah yang akan tertinggal dari waktu yang kemudian menjadi sejarah.

Pengandaian di atas sungguh menggelikan sekaligus menakutkan saya.

Pada sejarah terdapat banyak pelajaran tapi saya rasa kesemuanya digolongkan menjadi dua bagian besar yaitu kisah tentang kebaikan seseorang dan kisah tentang kebodohan seseorang. Di antara kisah-kisah itu ada bentuk bualan orang yang oleh orang yang berbudaya disebut sebagai sastra. Walau kebenarannya diragukan tetapi tak dapat saya pungkiri bahwa kisah-kisah dalam sejarah maupun dalam karya sastra cukup mempengaruhi saya. Mungkin benar seperti kata Pablo Picasso bahwa kadang-kadang kebohongan membantu kita untuk lebih memahami kebenaran.

Well, saya rasa semua hal tentang sejarah ini membuat saya pusing. Mungkin ada baiknya saya katakan "Aku sudah cukup menghabiskan seluruh hidupku di dunia jaman sekarang dan dibuat repot olehnya tanpa orang lain perlu melantur tentang sesuatu yang terjadi ataupun yang tidak terjadi di masa lalu".

Senin, 21 Januari 2008

JEJAK-JEJAK KEDUKAAN


Apakah laut masih bernama laut?
Jika dia tidak ada
Apakah sunyi masih bernama sunyi?
Jika dia tidak ada
Ketika dia pergi
Aku kehilangan semua nama
Apakah maut masih bernama maut?
Jika dia tidak ada
Apakah matahari masih bernama matahari?
Jika dia tidak ada
Ketika dia pergi
Aku kehilangan seluruh cahaya.
(dikutip dari puisi dalam cerpen "Ketika Rinana Pergi" karya Cecep Syamsul Hari)


Hari ini adalah peringatan satu tahun meninggalnya kakek saya.

Siapapun yang kita temui dalam hidup kita meninggalkan jejak di dalam hati kita. Kadang jejak itu begitu samar sehingga dapat diterbangkan angin dan akan terhapus bersama berlalunya waktu. Tetapi ada kalanya jejak itu begitu dalam dan hati kita tak pernah sama seperti sebelumnya, demikian juga dengan hidup kita.

Rasanya jejak yang tinggal di hati saya karena keberadaan kakek saya sangat dalam, mungkin peristiwa-peristiwa dan hal-hal lain, bersama waktu, akan menutupi jejak itu tapi jejak itu akan tetap ada disana.

Saya adalah "wanita satu paket", artinya saya, keluarga saya, sahabat-sahabat saya dan semua orang yang saya cintai adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Saya terikat dengan mereka baik secara fisik, emosi maupun moral. Mereka sangat mempengaruhi hidup saya sehingga apabila terjadi sesuatu pada mereka maka seakan-akan saya juga turut mengalaminya. Ketika salah satu dari mereka pergi saya merasa seakan-akan mata, telinga, lidah, tangan dan kaki saya dicopoti satu per satu. Kehilangan mereka adalah sebuah kedukaan yang tak terperikan.

Saya belum pernah kehilangan salah satu dari "paket" saya sebelumnya. Yang ada barangkali hanya "kepergian yang akan pulang kembali pada waktunya". Ketika kakek saya meninggal saya merasakan kedukaan yang begitu dalam. Saya merasakan rasa sakit yang sakitnya tak pernah saya bayangkan sebelumnya hingga saya yakin saya tidak akan bisa pulih seperti sebelumnya. Rasanya semua hal yang telah saya pelajari dan semua hal yang saya yakini tidak bisa menghilangkan rasa sakit saya. Baik saat itu maupun sekarang rasa sakitnya masih terasa sama.

Saya merasa tak peduli berapa tahun pun waktu yang telah kita lewati sejak peristiwa kehilangan itu, tak peduli berapapun usia kita, yang namanya sebuah kematian dari orang yang kita cintai tetap saja bisa menimbulkan kedukaan yang dalam.

Jumat, 18 Januari 2008

HASRAT PURBAWI MANUSIA


Saya merasa takut pada hasrat purbawi manusia.


Saya tahu sebagai manusia biasa saya dilengkapi dengan perangkat-perangkat tertentu yang mendukung kemanusiawian saya itu. Termasuk di dalamnya animal instinct. Naluri ini pada dasarnya berguna untuk kelangsungan hidup makhluk. Naluri ini meliputi naluri untuk makan, naluri untuk mempertahankan hidup, naluri untuk melanjutkan keturunan dan naluri untuk memperoleh pengakuan dari lingkungan. Naluri itu disebut naluri kebinatangan karena dimiliki juga oleh binatang.

Tidak ada yang menakutkan dari animal instinct kecuali bahwa ia ada di dalam diri saya. Membayangkan bahwa saya punya sesuatu yang dapat menyebabkan saya, pada suatu waktu, berpotensi untuk bertingkah seperti binatang sungguh membuat saya ngeri dan hampir-hampir membuat saya berpikir sangat negatif pada diri saya sebagai manusia.

Bagaimana pun sebagai seorang manusia saya selalu berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dan karena melihat pada kebaikan itu maka saya cenderung mengambil sosok yang saya pandang mewakili apa yang diartikan sebagai kebaikan itu. Sosok yang saya ambil adalah Rasul dan malaikat. Ketika saya menyadari bahwa saya tidaklah mungkin menjadi seperti mereka, tidak peduli sekuat apapun saya berusaha, maka saya dengan sadar diri mulai melihat kedudukan saya dalam hal kebaikan itu.

Tapi di sisi lain saya juga berpikir jika saya mengabaikan keberadaan animal instinct dalam diri saya, yang sebenarnya merupakan suatu potensi dilihat dari cara pandang tertentu, maka saya tidaklah akan bisa menjadi manusia yang sesungguhnya, seorang manusia yang manusiawi.

Terlebih lagi ketika saya menyadari bahwa ternyata di saat saya berada dalam kondisi dimana secara logika saya berada pada tingkat kemuliaan yang paling rendah (karena saya memperturutkan animal instinct itu) justru pada saat yang sama saya menyadari harkat kemanusiaan saya dalam kesadaran yang paling mendasar, jujur dan alami. Kesadaran itu saya anggap sebagai sebuah pengalaman spiritual. Mungkin seperti yang tertulis dalan Serat Centhini bahwa hasrat adalah teka-teki yang kita gali dari tubuh sebagai sebuah kerumitan. Tiap kali kita mendekat ke salah satu kunci teka-teki itu maka teka-teki itu menjadi kian sederhana, tetapi dalam setiap kesederhanaan itu melahirkan kerumitan baru. Demikian seterusnya tiada akhir, membentuk sebuah kerajaan yang paling purba indahnya.

Kini yang menakutkan saya bukanlah keberadaan animal instinct itu tetapi diri saya yang telah terikat kuat dengan animal instinct itu. Secara mendasar barangkali aku takut pada hasrat saya akan hal-hal yang bersifat duniawi. Itu karena saya tahu hal itu berpotensi untuk meruntuhkan keyakinan yang ada di dalam hati saya, keyakinan yang berusaha saya jaga baik-baik.

Bagaimanakah kita bisa selamat dari animal instinct kita pada saat sekarang ini ketika semua nilai tidak hanya telah digeser tetapi telah berganti nilai baru yang tidak berdasar atas pertimbangan baik dan buruk?

Kita lihat manusia sekarang. Animal instinct itu telah benar-benar diwujudkan dalam pengertian harfiahnya sebagai "sesuatu yang rendah". Dunia ini menyediakan segala macam hal yang melenakan dan juga segala bentuk tipu daya.

Membayangkan berada pada sebuah dunia dimana orang-orangnya, termasuk saya barangkali, hidup hanya dengan mengandalkan animal instinct-nya saja, sehingga menjadi hampir mirip dengan binatang, membuat saya ketakutan.

Selasa, 08 Januari 2008

APAKAH CINTA ITU SELALU BENAR?


Orang bilang cinta adalah hal terbenar dalam hidup manusia.

Karena dianggap merupakan suatu kebenaran maka setiap orang cenderung untuk mewujudkan cintanya bahkan dengan cara yang salah sekalipun.

Saya memperoleh dua ungkapan diatas dari bacaan yang saya baca beberapa waktu yang lalu. Saya pribadi menilai cinta sebagai sesuatu yang nyaris bersifat spiritual. Saya pikir cinta adalah sesuatu yang mulia, terhormat dan bermartabat. Cinta seharusnya mendorong orang untuk menjadi lebih baik, meningkatkan nilai dan harkat kemanusiaannya dan menempatkannya pada kualitas pribadi yang lebih tinggi.

Buku yang membahas tentang cinta yang pernah saya baca dan sangat saya sukai adalah Taman Orang-Orang Jatuh Cinta Dan Memendam Rindu-nya Ibnul Qayyim Al Jauziyah. Buku itu membahas masalah cinta dengan pemahaman yang kaya dan mendalam. Dalam buku itu disebutkan sebuah syair, sebuah syair yang sangat membekas di dalam hati saya. Syair tersebut kira-kira dapat diungkapkan seperti ini: Di dunia ini tidak ada orang yang lebih menderita dari seorang pencinta. Kendati dia mendapatkan hawa nafsu sebagai sesuatu yang sangat manis rasanya. Terlihat dia menangis dalam setiap keadaan. Baik karena rindu maupun karena takut berpisah. Dia menangis jika jauh dari orang yang dia cintai karena merasa rindu kepadanya. Dia pun menangis saat dekat dengan orang yang dicintainya karena takut berpisah dengannya. Saya pikir syair itu mewakili dengan sangat tepat tentang keindahan sekaligus penderitaan dari cinta.

Jika cinta merupakan suatu kebenaran kenapa di dalamnya terdapat rasa sakit? Itu pertanyaan yang kemudian muncul menanggapi ungkapan yang ada pada bagian pertama tulisan ini.

Saya pribadi berpikir rasa sakit yang muncul dari rasa cinta itu adalah akibat dari ikut berperannya rasa memiliki di dalam cinta. Rasa memiliki cenderung menyebabkan seseorang ingin mempertahankan sebuah keadaan dimana dia dan sesuatu yang menurutnya dia miliki itu berada pada tahap paling indah, paling menyenangkan dan paling stabil. Padahal dunia ini selalu berubah dari detik ke detik dan tidak ada satu hal pun yang bisa terhindar dari perubahan itu. Antara keinginan dan kenyataan ternyata berbeda sehingga menimbulkan kesedihan. Kita lihat orang seringkali membenci waktu karena waktu terlihat seperti sebuah sosok yang merenggut kestabilan yang dia inginkan berlaku bagi dia dan orang yang dia cintai itu. Karena membenci waktu maka dia berusaha sekuat tenaga untuk memanipulasinya dengan bersikap seakan dia dan kekasihnya adalah dua orang yang tetap seperti sebelumnya. Manipulasi ini menimbulkan kelelahan dan kembali lagi saat berhadapan dengan kenyataan hal itu menimbulkan rasa sakit.

Cinta dan rasa sakit adalah dua hal yang selalu akan saling mengikuti karena rasa memiliki adalah sesuatu yang sama alamiahnya dengan cinta dan rasa sakit itu sendiri. Sebagaimana cinta dan rasa sakit, rasa memiliki bersifat sangat manusiawi. Semua orang punya rasa memiliki tetapi bagaimana dia menyikapi rasa memiliki itu bisa sangat beragam pada masing-masing orang.

Apakah cinta itu selalu benar? Konsep jawabannya mungkin tergantung bagaimana cara seseorang mengapresiasikan cinta itu sendiri. Sebenarnya, merupakan sebuah ketidakadilan jika kita berpikir cinta yang kita miliki lebih mulia dari cinta orang lain, tetapi cinta itu adalah sesuatu yang tersimpan di dalam hati, kita tidak tahu dalamnya hati orang tetapi kita bisa melihat apa dampaknya bagi tingkah laku orang tersebut. Tingkah laku inilah yang sering kita anggap sebagai apresiasi orang tersebut terhadap suatu nilai tertentu yang dia yakini.

Saya sendiri menyadari, meskipun dengan berat hati, bahwa di dunia yang ya gitu deh ini ada cinta yang dinilai dengan begitu haram dan jahanam. Cinta semacam ini diapresiasikan dengan cara yang tidak lebih dari memperlihatkan kebejatan moral saja. Tentu saja cinta semacam ini pengertiannya bisa sangat berbeda dari pengertian yang ada pada bagian awal tulisan ini, baik pengertian secara harfiah maupun nirharfiah.

Kalau diandaikan dengan istilah kuliner maka cinta itu lebih merupakan taste (cita rasa) dibanding ingredient (bahan). Dalam pembicaraan mengenai taste maka yang dibicarakan adalah masalah selera. Tidak peduli bagaimana komposisi ingredient-nya, apakah baku atau tidak baku, apakah lazim atau tidak lazim, asalkan menghasilkan taste yang diinginkan maka recipe itu bisa dibilang acceptable. Saya mengenal seseorang yang hanya mau minum kopi yang dibuat berdasarkan ritual ini : kopi bubuk 3 sendok kecil dan gula 2 sendok kecil dituang dalam air panas tiga per empat cangkir dan susu seperempat cangkir, dan diaduk searah jarum jam selama satu menit. Sementara saya sendiri walaupun disuguhi kopi kualitas paling tinggi sekalipun saya akan lebih memilih segelas air mineral. Jadi kadang-kadang cinta itu hanyalah masalah acceptable atau tidak.

Cinta sebagai sebuah entitas merupakan sebuah ide yang sangat mulia. Dia terlepas dari keberadaan passion (hasrat) bahkan sense of belonging (rasa memiliki). Tetapi ketika kita, manusia yang ya gitu deh ini, mencintai maka keberadaan cinta itu bukan lagi menjadi ide yang semulia itu. Cinta tidak dapat hidup sendiri menjadi sebuah makhluk yang mandiri tetapi ketika manusia memilih, atau tanpa sadar terjerumus, untuk mencintai maka cinta itu kemudian melekat pada sisi-sisi kemanusiaannya. Hal itulah yang kemudian memungkinkan timbulnya kesalahan bahkan kejahatan dalam cinta.