Senin, 25 Februari 2008

CINTA SERUPA LARUTAN PEWARNA


Sesuatu yang dilahirkan dari sebuah cinta yang berkobar-kobar, atau dari sebuah gagasan yang besar, pada akhirnya hanya menjadi sesuatu yang kejam dan biasa-biasa saja ( "Doctor Zhivago", Boris Pasternak)

Sebagaimana yang sering saya dengar cinta adalah sesuatu yang digambarkan sebagai seberkas sinar matahari di tengah kegelapan atau sebagai topan badai yang dasyat. Saya bertanya-tanya bagaimana sesuatu yang begitu menghebohkan, begitu menggebu-gebu, begitu menggairahkan dan begitu melelahkan yang disebut cinta itu bisa berakhir begitu saja.

Saya sering mendengar akhir kisah cinta. Sebagian begitu mengharukan, begitu indah dan menjadi topik dalam puisi, drama, film bahkan dongeng pengantar tidur. Kisah cinta ini menjadi contoh, atau setidaknya dipakai dalam pelajaran moral dan etika sebagai penggambaran dari perasaan manusia yang dalam dan paling manusiawi.

Tetapi sebagian yang lain merupakan akhir kisah cinta yang biasa-biasa saja walaupun tidak biasa dalam arti harfiah. Kisah semacam ini begitu banyak menghiasi roman-roman picisan. Kisahnya murahan dan tidak bermutu karena cinta semacam ini biasanya disebabkan oleh sesuatu yang bersifat hormonal belaka dan berakhir juga oleh hal yang sama, misalnya perselingkuhan yang intinya kehilangan chemistry terhadap pasangannya. Tetapi kisah seperti itu akan selalu ada, berlangsung dan kemudian dilupakan.

Semua orang saya rasa ingin mengalami kisah cinta yang indah. Tetapi seperti yang saya sampaikan di bagian awal tulisan ini bahwa selalu ada akhir dalam sebuah percintaan.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah memang cinta itu hanya seperti perasaan yang lain seperti misalnya lapar, haus, sedih, gembira dan sebagainya yang dapat muncul dan hilang dengan sebab-sebab tertentu? Ataukah itu karena sifat manusia yang tak pernah puas?

Barangkali cinta memang seperti makhluk hidup. Dia bisa lahir dari ketiadaan, dengan sebab-sebab tertentu, dia membutuhkan makanan untuk tumbuh, dia bisa sakit dan dia pun bisa mati.

Barangkali juga cinta itu seperti api. Betapapun panas membaranya api itu tapi pada suatu saat toh harus tetap meredup dan padam.

Kepedihan yang dirasakan tokoh dalam kisah cinta yang tragis terasa menyusup ke dalam hati, begitu mengharukan, begitu menyakitkan sekaligus begitu indah. Saya ingat pernah mendengar seorang teman berkata bahwa penderitaan karena cinta adalah penderitaan yang paling indah. Seorang teman yang lain pernah berkata bahwa sesuatu berada di puncak keindahannya adalah saat sesuatu itu mati. Beauty of the death. Entah apakah kalimat yang saya gunakan ini terlalu sarkastis atau malah justru satir.

Saya pikir kesengsaraan karena berakhirnya kisah cinta barangkali datang dari kesalahan pandang terhadap cinta itu sendiri. Orang secara diam-diam berharap cinta mempunyai kedudukan yang setidaknya lebih tinggi dari makhluk hidup, meskipun tentu saja tetap jauh di bawah Tuhan, yang mempunyai sifat-sifat istimewa seperti keindahan yang abadi dan trlepas dari pengaruh sang waktu. Tentu saja itu mustahil. Cinta adalah perasaan dan sebagaimana perasaan lain, cinta akan ada selama orang merasakannya. Artinya keberadaannya tergantung pada eksistensi perasaan itu sendiri.

Di sisi lain orang juga diam-diam menginginkan agar cinta dapat berlaku seperti sebuah properti yang mereka miliki selagi mereka suka dan dapat mereka buang jika sudah usang dan tak membutuhkannya lagi. Padahal pada kenyataannya cinta selalu melibatkan sesuatu yang alami, tidak terduga dan berada di luar kendali manusia. Sungguh pemikiran yang dualis.

Cinta barangkali seperti larutan pewarna. Jika anda seorang pelukis atau menyukai lukisan atau punya hobi melukis, seperti saya, anda akan tahu bahwa dalam mencampur warna seseorang tidak hanya dihadapkan pada banyak peraturan fisika dan selera estetika tetapi juga bagaimana mengendalikan kebebasan dalam sebuah komposisi yang masuk akal. Kita harus sangat berhati-hati sebelum mencampur satu warna dengan warna yang lain agar warna yang kita kehendaki muncul dengan indah. Memang seringkali terjadi apa yang disebut sebagai kecelakaan yang indah dimana kita mencampur dua warna secara tidak disengaja dan menghasilkan warna yang tidak terduga indahnya. Tetapi sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa dalam kebebasan selalu ada tanggungjwab yang mengikutinya maka apa yang disebut sebagai kecelakan yang indah itu selalu memberi konsekuensi yang panjang.

Sebagaimana sifat larutan pewarna, mungkin akan datang saatnya ketika warna yang dihasilkan menjadi sangat cemerlang kemudian meluntur dan menjadi kusam. Untuk itulah selalu diperlukan sebuah upaya pemeliharaan. Dan ketika seseorang telah berhenti memelihara cintanya maka cinta itu akan berada dalam babak akhir dari kehidupannya dan para tokohnya berada dalam adegan-adegan yang memilukan.

Barangkali gambaran saya diatas bisa cukup terwakili oleh lagu kesukaan saya ini:

Yen luntura wenterane
ora kaya yen luntur tresnane
tekan-tekane atine
kaya-kaya mung saksire dhewe

Ora sembada biyene
saben dina mung tansah methukke
saben kepethuk tembunge
angrerepa dadia duweke

Ora maido kala mangsa
wong sok gawe cuwa
ewasemana nganti bisa
anglunturke tresna

Ditambakna mrana-mrene
tiwas-tiwas ndedawa larane
nadyan tamba sejatine
ora liya mung awake dhewe.

Jumat, 15 Februari 2008

KATA-KATA


'Kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa' ("Sepotong Senja Untuk Pacarku", Seno Gumira Ajidarma)



Dalam sehari, jika kita bukan Tarzan (pada masa sebelum bertemu dengan Jane) yang cuma bergaul dengan binatang, entah berapa banyak kata yang kita ucapkan. Kalau bahasa yang digunakan kebetulan adalah bahasa ibu dan bahasa kedua yang sudah dikuasai dengan baik sehingga menjadi bilingual sempurna, maka bisa jadi kata-kata yang digunakan dapat berkembang membentuk kosa kata baru, idiom-idiom baru atau secara kreatif menghasilkan cara baru penggunaan "bahasa menyimpang".

Sebagian kata-kata yang kita gunakan, yang kita ucapkan hanya berakhir sebagai kata-kata dan tak pernah lebih dari itu.

Mungkin sebagian yang lain mengalami nasib yang "lebih baik". Dalam artian tertinggal dan dikenang-kenang atau lebih jauh lagi dapat menginspirasi orang untuk melakukan sesuatu.

Salah satu pekerjaan seorang penulis, penyair, sastrawan atau apapun istilah yang digunakan terhadap orang yang suka menuangkan ide dan gagasannya ke dalam bentuk tulisan, adalah berusaha agar kata-kata tidak hanya akan berakhir sebagai kata-kata saja.

Niat awal seseorang menulis, siapapun dia, saya kira adalah untuk berusaha menggambarkan keadaan perasaan dan pikirannya dalam bentuk kata-kata. perasaan sangat cepat perkembangannya dan juga sangat cepat berlalu.

Mencatatnya merupakan usaha untuk mengabadikannya. Sedangkan membicarakannya, atau mempubikasikannya, adalah usaha untuk membaginya dengan orang lain. Dua-duanya diam-diam mendukung bukti bahwa manusia itu sangat narsis.

Kembali ke pernyataan awal, benarkah kata-kata itu benar-benar tidak merubah apa-apa? ketika saya menanyakan pertanyaan itu ke salah satu sahabat dekat saya dia menjawab peradaban manusia ini berdiri diawali dengan kata-kata Tuhan. Tentu saja pendapatnya itu benar, tidak saja karena disertai dengan dalil yang sangat kuat tetapi karena hal itu sudah merupakan sebuah kebenaran universal yaitu segala sesuatu selalu berawal dari kehendak Tuhan.

Tetapi kata-kata yang saya maksudkan disini, dan yang menjadi masalah, adalah kata-kata manusia. Seperti yang tadi saya katakan bahwa manusia itu diam-diam sangat narsis, bagaimana dia memperlakukan kata-kata kadang sungguh memprihatinkan. betapa banyak kata-kata yang dihamburkan tanpa mendukung satu makna pun hingga rasanya seolah-olah dunia tanpa kata-kata adalah dunia yang lebih baik.

Saya tidak tahu apa konklusi dari semua itu. Tetapi saya pikir alangkah baiknya kalau kita berhati-hati dengan kemampuan kita untuk memproduksi kata-kata sebagaimana kita berhati-hati dengan pikiran kita agar kata tak kehilangan maknanya.