Rabu, 25 Juli 2012

SAYA DAN HANBOK


Beberapa waktu lalu saya mendapat undangan menghadiri resepsi pernikahan dari seorang kerabat dari teman saya di pulau Olango, Philiphina. Saya tidak punya gaun formal. Untuk menghadiri acara-acara resmi saya biasanya memakai baju tradisional. Saya membawa kemana-mana beberapa baju tradisional just in case saya diundang menghadiri acara penting. Kebaya untuk menyatakan bahwa I’m Indonesian, gaun Hongaria penuh sulaman hadiah dari seorang teman yang sudah meninggal dan hanbok kiriman dari teman SMP saya yang menikah dengan orang Korea dan menetap di Seoul.

Berhubung lengan kebaya saya terkena noda saos dan belum saya bawa ke laundry sementara gaun Hongaria sudah sering saya pakai maka hari itu saya memutuskan memakai hanbok.

Hanbok adalah baju tradisional Korea, sebenarnya mengacu pada era Josheon. Hanbok untuk wanita terdiri dari tiga bagian: sokchima, chima dan jeogori. Sokchima adalah gaun yang dipakai untuk dalaman. Biasanya berwarna putih. Terbuat dari kain sutra atau katun yang lembut. Beberapa sokchima dilapisi dengan kain tulle supaya mengembang. Chima adalah rok. Berupa kain lebar yang disangkutkan di bahu dan dipakai dengan cara dililitkan dan diikat dengan simpul di atas dada. Chima biasanya terbuat dari sutra penuh sulaman berwarna-warni atau polos. Jeogori adalah baju atasan. Modelnya ada dua macam. Yang panjang menutup perut dan yang pendek menutup dada.

Hanbok milik saya terbuat dari sutra berwarna biru safir. Pada jaman dulu bahan dari sutra hanya boleh dipakai oleh kaum bangsawan. Saya sebenarnya tidak begitu menyukai wana biru tapi karena saya beberapa kali memakai baju berwarna biru teman saya jadi menganggap saya menyukai warna itu. Jeogori milik saya memakai model kerajaan, panjangnya sampai menutupi perut, terbuat dari sutra korea penuh sulaman bunga dari benang berwarna perak dengan beberapa hiasan tradisional. Pada bagian leher ada sulaman bunga-bunga bulat berwarna perak. Sokchima-nya memiliki empat lapisan kain tulle tetapi bagian paling dalam adalah sutra ringan yang sangat lembut dan nyaman di kulit.

Saya baru pertama kali memakai hanbok itu untuk menghadiri resepsi pernikahan. Itu membuat saya berdebar-debar. Biasanya hanbok hanya saya pakai untuk acara-acara tertentu dimana orang hanya datang, duduk dengan manis lalu pulang. Di sebuah resepsi pernikahan orang-orang berlalu lalang atau bergerombol berdekatan dalam ruangan yang sama. Ada banyak perabotan yang berfungsi dekoratif sehingga orang harus menghindarinya. Saya menghitung-hitung lingkaran rok saya sekitar 80-90cm sehingga setidaknya saya harus menjaga jarak dengan orang-orang tidak lebih dekat dari satu meter. Yang saya khawatirkan adalah seseorang atau saya sendiri menginjak ujung rok saya dan membuatnya robek atau lepas, walau itu sangat mustahil. Hari itu saya hanya makan sekerat daging angsa karena khawatir saya akan merusak baju saya kalau saya mengambil makanan yang banyak. Beberapa teman wanita memegang baju saya, bertanya ini itu dan mengagumi sulamannya yang indah.

Hari itu secara garis besar menyenangkan. Saya berkenalan dengan beberapa teman baru dan saya sempat difoto sekali atau dua kali. Tapi sejujurnya saya senang acara itu cepat berakhir . Bukan hanya karena sutra itu sama sekali bukan pakaian untuk bersantai, ikatan chima-nya lumayan menyesakkan dada walau tidak separah kimono tapi juga karena saya agak terganggu dengan hiasan-hiasan di hanbok saya. Dalam tata busana era Josheon, hanbok saya disebut sorae dangui, hanbok dari sutra dengan sulaman-sulaman dari benang perak, jenis baju ini hanya dipakai oleh para selir raja.

Membayangkan saya mengumumkan diri sebagai selir seseorang –dengan memakai sorae dangui- entah kenapa membuat hati saya tidak nyaman.

Minggu, 15 Juli 2012

POACHED EGG

Di antara semua 'ketrampilan khas wanita' yang harus saya kuasai untuk memenuhi 'standar kewanitaan' kemampuan memasak adalah yang paling buruk. Ungkapan 'rawon rasa soto' bukanlah hal yang mustahil apabila saya yang memasaknya. Semua anggota keluarga saya tahu kalau memakan masakan saya memerlukan keberanian.

Belakangan saya tertarik untuk memperbaiki kemampuan itu. Saya suka makan. Saya dapat seharian memikirkan makanan saja tanpa merasa kalau itu hal yang agak tidak baik. Memasak makanan saya sendiri adalah salah satu cara yang masuk akal untuk meminimalisir kerepotan orang lain -orang-orang yang dalam hidupnya harus mengurus saya- akibat kegemaran saya itu.

Tadi malam saya berangkat tidur dengan pikiran bahwa saya akan sarapan keesokan hari dengan beberapa butir telur. Saya suka telur. Suka sekali malah. Semua masakan yang ada telurnya -yang kelihatan telurnya maksud saya- pasti saya suka. Telur dadar, telur orak-arik, telur rebus semuanya saya suka.

Pagi ini saya ingin membuat poached egg. Saya tidak tahu apa padanan kata dalam bahasa Indonesianya. Telur rebus tanpa kulit mungkin.

Saya sering melihat Katherine membuat poached egg. Air direbus di dalam panci. Diberi sedikit cuka, garam dan merica. Telur dipecahkan dan dimasukkan ke dalam air yang mendidih itu lalu sebentar kemudian diangkat. Sudah begitu saja. Sangat mudah.

Tapi melihat dan melakukan adalah hal yang sangat berbeda.

Pertama, menentukan sebenarnya air mendidih itu tandanya apa. Apakah air mengeluarkan gelembung-gelembung bulat kecil di dasar panci atau sampai air bergejolak di bagian tengah? Bingung. Kata Katherine, it's simmering, not boiling. Kedua, memecahkan telur sendiri adalah sebuah masalah. Paling jijik melihat pecahan telur mengandung potongan kulitnya. Ketika telur sudah dipecahkan dan meluncur ke dalam air lalu saya mengaduk airnya ternyata airnya berubah menjadi penuh serabut-serabut kecil berwarna putih dan kuning. Disgusting. Ketiga, seperti apa telur yang sudah matang. Saya tahu telur harus dimasak selama dua setengah menit -saya menyalakan stopwatch di hp- tapi begitu waktunya tiba saya bahkan bingung dimana letak sudip.

Sungguh, memerlukan banyak telur - saya mengulangi prosesnya sampai tiga kali- untuk bisa membuat poached egg seperti yang saya inginkan.