Minggu, 14 Desember 2008

SEDIKIT NOSTALGIA, HEMINGWAY DAN KESENDIRIAN





Saya mendapatkan buku The Old Man And The Sea ketika saya masih kuliah semester satu di Malang.

Saya membelinya di pasar buku (baru dan bekas) di Jalan Majapahit. Orang menyebutnya Blok M. Tempat itu berada di sebuah jalan kecil, menurun, di bawah naungan pepohonan tua yang saking besar dan tingginya saya sampai kesulitan mengenali jenisnya. Pasar itu, kalau berbelok ke gang kecil kemudian melewati jembatan yang berada di atas sungai Brantas, akan terhubung dengan pasar burung yang menjual aneka hewan peliharaan dari burung sampai kelinci dan pasar bunga tempat macam-macam bunga dipajang dan dijual dengan harga murah. Orang menyebut tempat itu Splendid (dalam bahasa Belanda berarti indah)

Dulu saya suka berkeliaran di tempat itu satu atau dua kali seminggu. Biasanya bukan untuk tujuan yang jelas kecuali untuk cari inspirasi. Dari tempat kost saya di daerah Ketawanggedhe saya akan naik mikrolet GL atau LG, turun di Sarinah, berjalan sepanjang trotoar Jalan Basuki Rahmat lalu menyeberang ke Jalan Majapahit. Keluar masuk kios demi kios karena biasanya saya tidak jelas mau membeli buku apa jadi harus melihat-lihat dulu barangkali ada buku yang menarik. Buku-buku disana dijual murah dan banyak yang sudah tidak dijual lagi di toko buku sehingga seringkali saya merasa bangga saat melihat hasil perburuan saya sesampainya di kost. Di tempat yang sederhana itu tersimpan banyak harta karun. Di tempat itu pula awal percintaan saya dengan buku-bukunya Pramoedya Ananta Toer.

Setelah dari pasar buku biasanya saya akan berbelok ke pasar burung. Yang saya sukai adalah melihat-lihat ikan dan kura-kura. Seorang wanita harus punya hewan peliharaan karena itu menunjukkan kesehatan jiwanya. Saya tidak ingat dari mana saya dapat nasehat itu tapi saya percaya dan saya (anehnya) menyebarkan nasehat itu di depan kelas padahal saya tidak pernah sukses memelihara binatang. Pasar burung itu baunya tidak enak dan suasananya lumayan mengintimidasi. Tempat itu penuh laki-laki jarang ada wanita berkeliaran disana tapi memandangi ikan-ikan itu membuat saya bahagia.

Kalau pasar bunga jangan ditanya indah dan semarak warnanya. Baunya pun khas. Bau tanah tersiram air. Segar. Saya biasa berkeliling pasar, yang lokasinya seperti terassering karena berada di tepi sungai, dan di bagian paling bawah yang menjual bunga potong saya membeli seikat bunga mawar. Setelah itu saya pulang naik mikrolet AL. Di kamar saya akan menggantung bunga itu dalam posisi terbalik di dinding dekat jendela, memaksudkannya untuk menjadikannya potpourri, tapi hampir selalu tidak pernah jadi, kecuali satu kali pada musim kemarau, barangkali karena udara Malang terlalu lembab.

Belakangan saya dengar Blok M itu telah dipindah ke Jalan Wilis. Saya rasa segala macam pesonanya telah hilang bersama kepindahan itu.

Salah satu harta karun yang saya dapat dari perburuan itu adalah The Old Man And The Sea-nya Hemingway. Saya mendapatkannya dengan tidak sengaja saat saya gagal mencari bacaan berbahasa Jerman. Buku itu terselip begitu saja di antara novel-novel populer tidak bermutu dan majalah-majalah bekas seolah-olah itu bukan buku berharga. Saya membelinya dengan harga murah. Kondisinya bagus dan berbahasa Inggris.

Sebelumnya Hemingway yang saya kenal hanyalah artikel-artikel kecil di majalah-majalah yang menyebut namanya sebagai peraih Nobel dan orang yang mengatakan "Lapar adalah sebuah disiplin yang baik" yang saya setujui seratus persen. Setelah membacanya saya merasa mengenalnya dengan cara lebih baik.

The Old Man And The Sea bisa dibilang karya yang terhormat. Saya menganggapnya begitu. setidaknya saya tidak akan malu untuk membacakannya di depan kelas atau menghadiahkannya pada orang yang saya hormati. Tidak hanya karena Hemingway menggunakan kosa kata yang bisa diterima oleh norma kesopanan tetapi juga karena isinya mengandung nilai moral yang dalam.

Tokoh-tokoh dalam tulisan-tulisan Hemingwaykebanyakan adalah orang-orang yang "terpisah" dari dunia sekitarnya. Semacam gaya hidup solitaire yang tercipta karena keadaan. Barangkali itu karena pribadi Hemingway yang suka "berkeliaran" karena pekerjaannya sebagai jurnalis dan kesukaannya untuk "menjadi orang asing" karena sering berpindah tempat tinggal. Atau barangkali juga karena pengaruh politik pasca Perang Dunia II. Hemingway kelihatannya menganggap seseorang yang dapat mengatasi masalah dalam kesendiriannya maupun yang timbul akibat pola hidup solitaire itu sebagai sesuatu yang heroik.

Kesendirian dalam tahap tertentu kadangkala dapat merusak kewarasan seseorang, dapat membuatnya sulit membedakan antara emosi dan pikiran, merupakan kata lain dari inkonsistensi dan ketidakstabilan secara mental. Orang yang dalam kesendiriannya tetap bisa mengendalikan dirinya, dengan segala macam standar etika dan moral seperti apabila dia hidup bersama sebuah masyarakat dan eksis di dalamnya, pada saat tidak ada pihak lain selain dirinya yang berinteraksi dengannya, dalam keadaan yang memungkinkannya untuk bertindak semaunya sendiri dalam arti yang benar-benar harfiah, menurut saya pastilah orang yang mengagumkan.