Kamis, 16 Januari 2014

IF I DIE YOUNG






If I die young bury me in satin

Lay me down on a bed of roses

Sink me in the river at dawn

Send me away with the words of a love song




Ini adalah sebuah lagu yang kalau dinyanyikan dengan kualitas vokal yang bagus saya menyukainya.

Dulu saya memiliki seorang teman. Dia adalah satu di antara beberapa orang yang membuat saya bisa accept death as it is. Saya ingat dulu saya pernah bermimpi meninggal. Jasad saya ditempatkan dalam sebuah peti dengan bagian atas terbuat dari kaca. Jasad saya itu dihanyutkan di sebuah sungai yang ditepinya ditumbuhi pohon-pohon willow dan pohon-pohon cherry yang kebetulan sedang bermekaran. Kelopak-kelopak bunga cherry yang berwarna merah muda pucat berjatuhan seperti hujan dan teman saya itu berdiri di satu sisi sungai melepas kepargian saya. Mati terasa tidak beda dengan tidur yang panjang dan saya merasa berbahagia ketika mengalaminya. Itu adalah mimpi yang sangat romantis menurut saya. Ketika saya menceritakannya kepada teman saya itu dia hanya menanggapi dengan tertawa. Dia selalu membayangkan mati di dalam medan perang, entah perang yang mana yang dia maksud, sehingga lupa membayangkan bagaimana orang akan mengubur jasadnya. Sementara saya selalu membayangkan bagaimana saya dimakamkan tetapi lupa berkhayal dengan cara apa saya akan mati.

Kalau bicara soal keinginan, saya ingin mati muda, ketika saya masih segar bugar sehingga tidak perlu membuat resah siapapun.

Ketika kecil saya berpikir usia 30an itu ‘tua bangka’ memakai riasan tebal dan perhiasan gemerincing, tinggal di perumahan yang bangunan rumahnya sama persis dengan puluhan rumah lain di sekitarnya dengan kegiatan sosial bersama ibu-ibu yang berpakaian dan bicara dengan gaya yang sama seperti boneka buatan pabrik. Saya pikir itu sangat mengerikan. Saya sama sekali tidak bisa membayangkan saya menjadi seperti itu. Saya selalu merasa sudah akan masuk ke dalam kubur jauh sebelum berusia 30 tahun.

Lucunya, meskipun saya tidak memiliki satu pun ciri untuk apa yang saya sebut boneka buatan pabrik itu, tapi usia 30 itu telah saya lewati beberapa tahun yang lalu. Apakah saya merasa kecewa? Saya tidak tahu. Yang saya tahu saya tidak pernah merencanakan untuk hidup lama tapi ternyata saya masih terus hidup dari hari ke hari. Masalah datang silih berganti. Saya memecahkannya satu per satu. Dan tahu-tahu satu hari telah berlalu dan datang hari berikutnya. Begitulah seterusnya.

Saya merasa hidup pada akhirnya bukanlah masalah keinginan, malah sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu.

Setiap orang seperti jam dengan pemutar pegas di punggungnya. Tuhan memutar pegas itu sesuai kehendak-Nya. Masing-masing orang dengan jumlah putaran yang berbeda. Ada yang pemutar pegasnya diputar banyak sekali hingga jam kehidupannya berdetak untuk waktu yang lama. Ada yang diputar cuma sebentar sehingga berhenti dengan cepat.

Rabu, 15 Januari 2014

ARE YOU RELUCTANT TO HAVE ME, SIR?




Itu adalah pertanyaan yang diucapkan Jane Eyre pada St John ketika dia meminta pria itu untuk membagi uang warisannya -yang baru dia terima dari seorang pamannya yang kaya raya- menjadi empat bagian agar dia dan pria itu beserta kedua saudarinya dapat hidup sebagai sebuah keluarga. Jane seorang anak yatim piatu. Adalah sebuah kegembiraan besar baginya untuk memiliki keluarga. St John –sebagaimana umumnya pria- mengutamakan harga diri sehingga pada awalnya merasa enggan. Uang warisan yang diterima Jane sangat besar dan dengan uang itu Jane dapat menjalani hidup sebagai wanita bebas yang tidak perlu merisaukan bagaimana harus mengurus dirinya sendiri –sebelumnya Jane mencari nafkah dengan menjadi seorang governess-. Jane meyakinkannya bahwa dia telah sendirian sepanjang hidupnya dan merasa senang melakukan itu. Ketika St John masih ragu-ragu Jane mengucapkan pertanyaan itu. St John kemudian menjawab “No, Miss Eyre, on the contrary.”
Itu adalah salah satu adegan yang sangat menyentuh hati saya dalam novel Jane Eyre-nya Charlotte Bronte.

Saya memiliki kecenderungan untuk menjadikan orang-orang yang saya sayangi sebagai keluarga. Saya lahir dan dibesarkan di tempat dan pada masa dimana semua orang berada dalam ikatan keluarga yang erat. Jika saya bermain terlalu jauh dari rumah dan sedang merasa haus saya dapat pergi ke rumah terdekat dan meminta minum. Penghuni rumah itu akan memberi saya dan teman-teman saya air minum, dan kadang-kadang makanan kalau kebetulan ada, dan itu dilakukan dengan spontan tanpa suatu itikad tertentu, nyaris semacam gerakan refleks. Membuat saya percaya ada kasih sayang yang tulus antara sesama manusia di dunia ini.

Tanpa saya sadari saya barangkali bermaksud membekukan waktu dimana dunia masih seperti ketika itu dan bertindak dengan cara yang sama. Seringkali saya lupa betapa utopisnya ide itu dan mematahkan hati saya sendiri setiap kali saya mendapati dunia telah jauh berubah. Karena orang telah berubah menjadi begitu mudah merasa terancam, hal-hal yang dilakukan secara spontan dan tanpa itikad apapun kecuali bahwa itu hal yang baik untuk dilakukan akan dengan mudah dicurigai sebagai ancaman, atau strategi untuk meraih sesuatu di masa yang akan datang. Saya seorang yang sangat impulsif, yang merasakan dan melakukan apapun dengan kesungguhan hati yang dalam. Jika saya melakukannya dan mendapat kecurigaan itu dari orang lain –yang biasanya diperlihatkan dengan jelas- saya menyimpulkannya sebagai bentuk penolakan.

Saya mengalami beberapa penolakan yang menyakitkan dalam hidup saya.

Ketika saya berusia kira-kira dua belas atau tiga belas tahun, ada seorang anak yang pindah ke sekolah saya. Saya mendengar cerita bahwa dia dibuang oleh ibunya dan kemudian dirawat oleh seorang bibinya yang keadaan keuangannya cukup memprihatinkan. Saat itu saya belum mengerti benar apa artinya dibuang oleh orang tua atau kenapa seseorang melakukan itu terhadap anaknya, tapi saya merasa kasihan kepadanya. Setiap hari saya membawakannya jeruk yang sangat matang dari rumah – rumah saya ketika itu adalah gudang jeruk karena kakek saya membeli jeruk dari hampir semua petani di kecamatan kami. Saya bisa mendapatkan buah jeruk kapanpun saya mau – dan mengajaknya bermain bersama teman-teman saya. Suatu hari – entah karena apa- bibi anak itu membawa anak itu pulang. Saya lewat di kebun di dekat rumah anak itu dan mendengar bibinya menyuruh dia untuk tidak bermain dengan saya karena saya akan membuatnya ora cetho. Saya tidak ingat pernah melakukan hal yang salah dengannya sehingga itu membuat saya kaget. Saya tidak menceritakan hal itu pada siapapun tapi sejak hari itu saya berhenti bermain dengan dia. Saya belum tahu tentang membela diri atau berargumen tapi saya tahu seorang anak adalah milik keluarganya dan dia harus melakukan apapun yang disuruh karena saya sendiri seperti itu. Itulah pertama kali saya tahu betapapun baiknya hubungan saya dengan seseorang belum tentu orang itu atau orang lain menganggapnya sama baiknya.

Ketika saya berumur tiga puluh tiga saya – untuk pertama kalinya dalam hidup saya- ingin memasukkan diri saya ke dalam keluarga orang lain. Dan mereka menolaknya. Tentu saja mereka memiliki banyak alasan kenapa mereka menolaknya tapi dalam kekecewaan saya menemukan bahwa barangkali – yah, hanya barangkali- saya tidaklah sebaik yang saya kira. Saya bukanlah orang yang akan menarik-narik tangan orang lain sambil merengek “Am I not good enough for you? Please, don’t throw me away. I could be nice.” Itu mengerikan dan bukanlah hal yang mungkin terjadi kecuali orang-orang itu memiliki lingkaran halo di atas kepala mereka atau saya merubah diri saya menjadi orang yang sama sekali berbeda. Dua hal yang tidak akan terjadi. Saya tahu saya tidak good ataupun nice tapi rengekan semacam itu bahkan memikirkannya saja sudah sangat mengganggu saya.

Terlepas apakah saya berumur tiga belas tahun atau tiga puluh tiga tahun penolakan tidak pernah menjadi hal yang mudah bagi saya.

Ada yang bilang the painful rejection always comes from who you love the most sepertinya itu ada benarnya. Setiap penolakan mematahkan hati saya. Beberapa dapat sembuh setelah sekian lama dan beberapa tidak. Biasanya saya menangisinya dan memikirkannya sampai saya bosan kemudian pada suatu waktu saya berhenti dan membuat kesimpulan bahwa saya dan mereka bukan kindred spirit. Itu adalah hiburan yang sangat manjur.

Apakah luka akibat penolakan itu harus begitu menyakitkan sehingga membuat orang harus merasa takut terhadap penolakan? Itu masalah yang berbeda. Seseorang pernah berkata kalau saya mendapatkan apapun yang saya mau – tanpa menerima satu pun penolakan – saya mungkin akan merasa senang pada awalnya lalu dengan cepat akan menjadi bosan. Orang memerlukan satu atau dua penolakan dalam hidupnya, hal yang membuatnya memikirkan ulang kualitas dirinya dan memulai memperbaiki diri, untuk tumbuh dan berkembang. Jika saya mengajukan pertanyaan “Are you reluctant to have me, sir?” lalu selalu mendapat jawaban “No, dear, on the contrary, I love to have you.” Mungkin saya akan berpikir - dan yakin- bahwa semua orang adalah keluarga dan melewatkan satu pelajaran penting bahwa untuk menjadi keluarga orang harus memenuhi prasyarat khusus, yang mana hanya Tuhanlah yang bisa menyediakan prasyarat khusus itu. mengetahui bahwa sesuatu yang tak dapat kita lakukan adalah pekerjaan Tuhan bukankah itu terasa menentramkan hati?