Sabtu, 29 November 2008

SNOW



Saya membeli buku ini pada awal tahun ini. Saya ingat ketika itu bunga border carnation warna merah tua di depan rumah saya mekar untuk pertama kalinya.

Saya punya perasaan tertentu terhadap salju. Saya dapat mengatakan bahwa salju itu benar-benar sangat indah tetapi saya cenderung menjadi lemah di musim dingin jadi judul buku itu membuat saya merasa tidak enak hati. Namun karena beberapa alasan (yang menulis adalah Orhan Pamuk, beberapa teman saya yang mencintai sastra mengatakan bahwa buku itu sangat bagus dan saya merasa sudah begitu kelelahan membaca dan terus membaca ulang Beauty and Sadness karya Yasunari Kawabata) maka saya membelinya.

Saya merasakan perasaan yang tidak enak saat membacanya bahkan sejak bab pertama. Saya selalu merasakan perasaan yang tidak enak setiap kali membaca buku yang di kemudian saya cintai seperti misalnya buku-bukunya Pramoedya Ananta Toer atau Kawabata itu. Saya tidak selalu bisa dengan gamblang menjelaskan bagaimana sebenarnya perasaan yang tidak enak itu namun bisa saya katakan bahwa rasanya mirip dengan saat saya melihat ranting-ranting pohon yang berwarna gelap dengan latar belakang senja kemerahan di film Gone With The Wind.

Perasaan tidak enak itulah barangkali yang membuat saya tidak juga selesai membacanya bahkan sampai sekarang. Membaca buku ini saat musim dingin sungguh pilihan yang buruk tapi buku ini sangat indah. Sangat menyedihkan namun begitu indah. Seperti kata-kata Ka: "Were the streets empty because of the snow or were these frozen pavements always so desolate?"

Jumat, 28 November 2008

LOVE AND FRIENDSHIP


Love is like the wild rose-briar,

Friendship like the holly-tree

The holly is dark when the rose-briar blooms

But which will bloom most constantly?


The wild-rose briar is sweet in the spring,

Its summer blossoms scent the air;

Yet wait till winter comes again

And who will call the wild-briar fair?


Then scorn the silly rose-wreath now

And deck thee with the holly's sheen,

That, when December blights thy brow,

He may still leave thy garland green.


by Emily Bronte

Senin, 24 November 2008

THREE CUPS OF TEA



Dua hari ini saya merasa tidak enak badan. Semangat yang tinggi seharusnya menumbuhkan energi yang melimpah tapi tubuh saya selalu bereaksi secara aneh terhadap apa yang disebut semangat yang tinggi itu. Kadang saya berpikir tubuh adalah sebuah bukti yang paling nyata mengenai keterbatasan-keterbatasan yang saya miliki.

Beberapa hari lalu saya terdorong untuk membeli buku Three Cups of Tea karena seorang teman menyukainya. Dia seorang yang sopan dan manis (Entah kenapa pria Sunda yang saya kenal selalu sangat sopan dan manis. Mungkin karena mereka suka makan lalapan. Hubungane gek yo opo ngono lho) sebagaimana layaknya seorang ikhwan yang terpelajar. Dia seorang yang serius mengusahakan layanan kesehatan cuma-cuma untuk masyarakat kurang mampu.

Buku itu terbit sekitar tahun 2006 (di Amerika dan Eropa) sehingga sewaktu saya membelinya saya perlu mencari agak lama di toko buku. Three Cups of Tea buku yang lumayan bagus. Kisah nyata tentang seorang yang mengusahakan pendidikan bagi anak-anak miskin di pedalaman pegunungan Karakoram di Pakistan. Perjuangan yang berat karena tempat itu sulit dicapai. Bahan bangunan untuk sekolah bahkan harus dipikul berpuluh-puluh kilometer melewati lembah dan tebing yang terjal. Buku ini menceritakan apa yang disebut sebagai semangat yang tinggi itu. Saya pikir alangkah lebih bagusnya seandainya buku ini ditulis oleh seorang muslim agar penjelasan dan pemahamannya tentang beberapa aliran dalam Islam menjadi lebih benar.


Di bagian awal buku ini tertulis kira-kira seperti ini:
"Jika kamu disuguhi teh (di tempat kami) cangkir pertama berarti kau masih seorang yang asing, cangkir kedua berarti kau seorang teman yang dihormati, pada cangkir ketiga kau sudah menjadi keluarga (kami) Keluarga yang bersedia melakukan apa saja, bahkan mati (demi dirimu) "

Mengharukan.

Well, berapa cangkir teh yang sudah kita minum bersama-sama, teman-teman?

Senin, 17 November 2008

DID I MENTION THAT I LOVE YOU?


Saya sangat suka bercakap-cakap. Di dalam bis, di kampus, di jalan, di mana pun, selama memungkinkan untuk melakukannya, saya pasti akan mengajak siapapun di dekat saya untuk bercakap-cakap.


Bagi saya makanan yang lezat, teman yang setia dan obrolan yang cerdas adalah keindahan dunia, sesuatu yang menginspirasi dan menggairahkan.


Saya memperoleh banyak hal dari kegiatan bercakap-cakap itu. Biasanya sebuah persahabatan yang saya jalin dengan seseorang dimulai dari percakapan-percakapan itu.


Hal yang paling tidak saya sukai dalam sebuah percakapan, jika itu adalah sebuah percakapan yang menyenangkan, adalah ketika saya harus mengakhirinya.


Belakangan saya punya kebiasaan mengganti kalimat See you next time sebagai kalimat perpisahan dengan kalimat Did I mention that I love you?


Reaksi yang saya terima tentunya bermacam-macam. Jawaban yang paling sering saya dapatkan berkisar antara senyum atau mringis atau bertanya-tanya atau gaya cowboy. Kadang juga berupa ucapan I love you too, ini biasanya dari orang-orang tercinta. Kadang juga memicu diskusi panjang lebar. Seorang keponakan saya yang menjadi seniman di Jakarta mengatakan kalau kalimat itu lumayan "memanikkan" orang dan menganggap saya sedang "menggarap" dia (garap dalam bahasa pedalangan bisa berarti mencandai)


Saya sendiri tidak menganggap kata I love you sebagai kata yang harus diucapkan secara hati-hati. Kadang perasaan sayang di dalam hati saya terhadap seseorang begitu membuncah dan karena saya tidak mungkin melakukan hal konyol seperti berlari dan gabruk memeluknya, sementara saya merasa perlu menunjukkan rasa sayang itu maka saya pikir kata I love you dapat menjalankan fungsi itu dengan baik.


Sebenarnya saya tidak mengharapkan apa-apa dan tidak bermaksud apa-apa di balik kata-kata Did I mention that I love you? itu kecuali untuk melegakan hati saya saja. Orang yang mendengarnya pun tidak saya harapkan untuk menanggapinya dengan serius. Saya malah setengah berharap ucapan itu akan dijawab seperti dalam salah satu adegan film: Yes, you did. Get out, loser . Dan saya pikir that's enough for a loser like me. He he he...

Jumat, 14 November 2008

AGE OF INNOCENCE



Mengapa kita yang memintal kenangan

tak pernah ingat untuk membujuk waktu

agar merayap dengan sangat pelan

padahal kita segera dijemput kematian?



Mengapa kita ikat simpul cinta kuat-kuat

padahal di satu senja kita akan melepasnya

dengan sisa kelemahan yang kita punya

dan napas kita selalu patah?


Sayangku, cinta dan doaku adalah sayap yang akan menjagamu

dari hujan paling basah dan cuaca paling kerontang.


Catatan:

Puisi diatas dikutip dari karya Nurul Lathifah