Senin, 24 November 2008

THREE CUPS OF TEA



Dua hari ini saya merasa tidak enak badan. Semangat yang tinggi seharusnya menumbuhkan energi yang melimpah tapi tubuh saya selalu bereaksi secara aneh terhadap apa yang disebut semangat yang tinggi itu. Kadang saya berpikir tubuh adalah sebuah bukti yang paling nyata mengenai keterbatasan-keterbatasan yang saya miliki.

Beberapa hari lalu saya terdorong untuk membeli buku Three Cups of Tea karena seorang teman menyukainya. Dia seorang yang sopan dan manis (Entah kenapa pria Sunda yang saya kenal selalu sangat sopan dan manis. Mungkin karena mereka suka makan lalapan. Hubungane gek yo opo ngono lho) sebagaimana layaknya seorang ikhwan yang terpelajar. Dia seorang yang serius mengusahakan layanan kesehatan cuma-cuma untuk masyarakat kurang mampu.

Buku itu terbit sekitar tahun 2006 (di Amerika dan Eropa) sehingga sewaktu saya membelinya saya perlu mencari agak lama di toko buku. Three Cups of Tea buku yang lumayan bagus. Kisah nyata tentang seorang yang mengusahakan pendidikan bagi anak-anak miskin di pedalaman pegunungan Karakoram di Pakistan. Perjuangan yang berat karena tempat itu sulit dicapai. Bahan bangunan untuk sekolah bahkan harus dipikul berpuluh-puluh kilometer melewati lembah dan tebing yang terjal. Buku ini menceritakan apa yang disebut sebagai semangat yang tinggi itu. Saya pikir alangkah lebih bagusnya seandainya buku ini ditulis oleh seorang muslim agar penjelasan dan pemahamannya tentang beberapa aliran dalam Islam menjadi lebih benar.


Di bagian awal buku ini tertulis kira-kira seperti ini:
"Jika kamu disuguhi teh (di tempat kami) cangkir pertama berarti kau masih seorang yang asing, cangkir kedua berarti kau seorang teman yang dihormati, pada cangkir ketiga kau sudah menjadi keluarga (kami) Keluarga yang bersedia melakukan apa saja, bahkan mati (demi dirimu) "

Mengharukan.

Well, berapa cangkir teh yang sudah kita minum bersama-sama, teman-teman?

Tidak ada komentar: