Rabu, 20 November 2013

A MEAN OF SURVIVAL

Barangkali ini terdengar agak aneh tapi saya merasa turut berbahagia jika teman-teman saya, terutama sekali yang dari Indonesia, tidak menghubungi saya. Kenapa? Karena biasanya mereka hanya menghubungi saya kalau sedang terlibat masalah - ‘biasanya’ disini sangat seringnya sampai-sampai saya menggantinya tanpa sadar dengan ‘selalu’- Tidak menghubungi berarti mereka sedang baik-baik saja.

Hampir semua ‘teman’ seperti itu di jaman sekarang ini. Kecuali beberapa teman yang istimewa yang mencintai untuk tujuan yang lebih mulia dari sekedar pemenuhan kebutuhan.

Saya bukannya sedang mengomel. Saya dapat memahami kenapa orang melakukannya. Jaman sekarang dalam hubungan antar manusia kepentingan selalu berdiri di antara seseorang dengan orang lainnya. Orang-orang yang sangat ingin kepentingannya tercapai biasanya menjadi sangat sibuk menyusun berbagai macam strategi untuk mendekatkannya pada kepentingannya itu. Dia akan menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya, atau yang dia kira dimilikinya, untuk meraihnya. Salah satu potensi itu adalah teman.

Kita harus mengakui ada beberapa ( atau banyak lebih tepatnya ) orang yang menjalin hubungan baik dengan orang lain bukan karena bermuamalah dengan baik dengan sesama manusia itu adalah hal yang seharusnya dilakukan semua orang, tetapi karena menganggapnya sebagai investasi yang menguntungkan. Orang jenis ini biasanya berpikir ‘tidak usah membuat masalah dengannya sekarang siapa tahu aku akan membutuhkannya nanti’. Mereka menggolongkan teman berdasarkan ‘masalah’ yang mungkin akan mereka hadapi karena prinsip ‘siapa tahu’ ini dan begitu sebuah masalah muncul daftar nama teman yang berada dalam golongan itu akan muncul di benak mereka secara otomatis sebagai a chance of problem solving. Orang seperti ini dalam keadaan kritis akan selalu mundur diam-diam ke zona aman. Bahkan ketika melihat seseorang berbuat salah atau ketidakadilan terjadi akan sering kita lihat orang jenis ini memilih diam saja karena merasa khawatir di masa depan mereka akan menuai ‘balas dendam’ jika mengambil tindakan melawan kesalahan atau ketidakadilan itu. Dalam benak mereka kosa kata ‘pengecut’ telah berganti dengan ‘hidup secara cerdas’.

Bagi orang-orang semacam itu a friend is a mean of survival, sesuatu yang membantu mereka mempertahankan hidup. Semua orang mereka nilai berdasarkan standar ini. Jika tidak bisa menunjang keberlangsungan hidup mereka maka orang lain itu bukanlah apa-apa bagi mereka.

Saya mengenal beberapa orang yang seperti itu, dan walaupun saya memandang hidup dengan standar kasih sayang, saya biasanya membiarkan mereka tahu kalau cara pandang mereka itu membuat saya merasa kasihan. Setua ini saya belajar bahwa ada dua cara paling mudah menghindari orang semacam ini yaitu pertama, dengan berbagai cara saya akan menyakinkannya bahwa saya bukanlah a mean of survival baginya. Saya akan membiarkannya terkena sedikit masalah dengan saya, dan karena orang jenis ini sangat cepat belajar dari pengalaman, dia akan menghindari saya setelahnya. Kedua, ini mungkin terdengar kejam tapi sangat manjur, orang jenis ini selalu merasa harus memiliki sesuatu sebagai leverage, sesuatu yang dapat mereka tukar dengan hal yang mereka inginkan. Jika saya dapat meyakinkan kalau leverage yang mereka miliki tidak berguna untuk saya, atau saya memiliki substitusi yang lebih baik, orang jenis ini biasanya akan menghindar dengan cepat. Tetapi jika tidak mau terlalu repot maka saya rasa cukup dengan menyatakan bahwa kita dan mereka tinggal di dunia yang sangat berbeda dan tidak ada satu pun alasan yang bisa ditemukan kenapa kita dan mereka harus terlibat urusan bersama-sama. Bukankah dunia ini luas? Dan ada bermilyar-milyar orang di dalamnya? Jika cinta, kasih sayang dan hubungan pertemanan adalah bagian dari free will maka tentunya kita bisa memilih obyeknya bukan?

Saya pribadi percaya cinta yang tulus adalah cinta yang tidak bertambah hanya karena seringnya bertemu, adanya pemberian atau kemanfaatan tertentu dan tidak akan berkurang hanya karena kurangnya pertemuan, tidak adanya pemberian atau kemanfaatan dari pihak yang satu terhadap pihak yang lainnya. Pendek kata, mencintai seseorang hanya karena dia ada sebagaimana dia adanya. Mungkin terdengar terlalu utopis tapi saya memiliki beberapa orang yang kami saling mencintai dengan cara demikian.

Tidak ada komentar: